JATIMPOS.CO/SURABAYA — Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Pelindungan Masyarakat (Trantibum) terus berlanjut di DPRD Jawa Timur.

Fraksi Partai NasDem DPRD Jatim menilai revisi Perda Trantibum ini merupakan momentum untuk memperkuat kelembagaan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jatim. Hal tersebut disampaikan juru bicara Fraksi NasDem, Haris Wicaksono Wibowo, dalam rapat paripurna di Gedung DPRD Jatim, Selasa (25/11/2025).

"Dari sisi politik hukum daerah, Fraksi memandang bahwa perubahan Perda ini merupakan momentum untuk memperkuat kapasitas Satpol PP sebagai ujung tombak penegakan Perda," kata Haris.

Menurutnya, pendapat Gubernur terhadap Raperda tersebut belum secara tegas mengarahkan kebutuhan peningkatan sumber daya manusia, penggunaan teknologi informasi, integrasi pangkalan data, serta pengembangan unit analisis digital yang diperlukan untuk memantau dan menindak gangguan di ruang siber.

“Tanpa penguatan kelembagaan, Raperda ini akan sulit diimplementasikan secara efektif karena beban penegakan semakin kompleks, sementara kapasitas di lapangan tidak bertambah signifikan,” tegasnya.

Fraksi NasDem juga memberi catatan terkait wacana pembentukan relawan digital. Haris menekankan, relawan digital hanya boleh dilibatkan sebagai penyampai informasi, penggerak literasi, dan pemberi laporan, bukan sebagai pelaksana penegakan hukum.

“Tanpa batas kewenangan yang jelas, relawan digital berpotensi menciptakan praktik persekusi, vigilantisme, atau tindakan represif berbasis moralitas subjektif yang bertentangan dengan prinsip negara hukum,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa perubahan regulasi ini tidak dapat lagi dipandang sebatas pembaruan administratif, tetapi juga sebagai respons fundamental terhadap perubahan sosial yang semakin cepat, kompleks, dan tidak jarang mengancam integritas sosial di Jatim.

Fraksi NasDem berpandangan persoalan judi online dan pinjaman online (pinjol) ilegal, yang disebutkan gubernur sebagai salah satu alasan perubahan perda, tidak dapat diselesaikan hanya melalui patroli digital atau penegakan larangan.

“Persoalan ini bersumber dari ketidaksiapan masyarakat menghadapi ekosistem digital, lemahnya literasi keuangan, kurangnya regulasi preventif yang menahan laju aplikasi ilegal, serta absennya mekanisme perlindungan bagi keluarga yang terdampak,” paparnya.

Ia menyebut banyak warga terjerat utang, mengalami kekerasan dalam rumah tangga, bahkan kehilangan harta benda akibat tekanan ekonomi yang semakin berat. Karena itu, Fraksi NasDem menilai raperda ini harus memuat pendekatan yang lebih humanis, komprehensif, dan sistemik.

“Raperda harus memberikan kerangka yang mengatur edukasi publik, pendampingan keluarga terdampak, serta mekanisme kanal aduan khusus di level provinsi yang terintegrasi dengan aparat penegak hukum. Tanpa langkah-langkah preventif dan kuratif, penindakan semata hanya akan menyentuh permukaan tanpa menyelesaikan luka sosial yang lebih dalam,” urainya.

Terkait fenomena penyalahgunaan pengeras suara berdaya tinggi yang dikenal sebagai sound horeg, Fraksi NasDem menilai gangguan suara tersebut bukan lagi sekadar soal ketertiban, tetapi sudah menyentuh aspek kesehatan, psikologis, dan hak warga atas lingkungan yang nyaman.

“Banyak masyarakat mengeluhkan tidak adanya parameter pasti dalam penegakan larangan penggunaan pengeras suara sehingga aparat sering kali ragu menindak, atau justru terjadi ketegangan sosial antarwarga,” tuturnya.

Karena itu, Haris menegaskan perubahan raperda ini harus menetapkan standar objektif seperti batas desibel, radius suara, standar teknis alat ukur, serta klasifikasi kegiatan yang diperbolehkan menggunakan pengeras suara.

“Tanpa pengaturan teknis yang jelas, aparat Satpol PP akan kembali bekerja berdasarkan persepsi subjektif yang berpotensi menimbulkan konflik antara aparat dan masyarakat,” pungkasnya. (zen)