JATIMPOS.CO/SURABAYA — Komisi A DPRD Jawa Timur menyampaikan nota penjelasan sebagai pemrakarsa Raperda Perubahan Kedua atas Perda No.1/2019 tentang Penyelenggaraan Trantibum (ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat) dalam rapat paripurna, Senin (27/10/2025).
Juru bicara Komisi A, Sumardi, S.H., M.H., menegaskan perubahan diperlukan untuk merespons gangguan ketertiban yang lahir dari perkembangan teknologi digital dan pola interaksi sosial baru.
Sumardi menjelaskan, kewenangan pembentukan Perda melekat pada pemerintah daerah sesuai Undang-Undang No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, termasuk urusan penanganan gangguan ketertiban umum lintas kabupaten/kota di tingkat provinsi.
“Pemerintah daerah berwenang membentuk Perda dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan,” ujarnya.
Menurutnya, praktik perjudian dan pinjaman ilegal berbasis teknologi informasi telah menjadi isu mendesak yang memukul kelompok rentan, terutama ekonomi menengah bawah dan generasi muda.
“Keterlibatan masyarakat dalam perjudian sering kali menimbulkan masalah ekonomi yang kemudian mendorong mereka mencari akses pembiayaan cepat melalui pinjaman ilegal berbasis teknologi informasi,” kata Sumardi.
“Lingkaran situasi ini menempatkan individu maupun keluarga dalam posisi rentan dan melahirkan problem secara sosial berupa tindak kriminal, tekanan psikologis, konflik keluarga, bahkan tindakan bunuh diri,” sambungnya.
Komisi A memaparkan ruang lingkup perubahan kedua ini. Pertama, penambahan cakupan gangguan ketertiban pada ruang digital serta aspek pangan. Kedua, penetapan batas larangan penggunaan pengeras suara—statis maupun nonstatis—dengan ambang intensitas yang terukur objektif dalam kerangka tertib lingkungan.
Ketiga, pengaturan pencegahan perjudian dan pinjaman ilegal berbasis TI melalui edukasi publik, patroli digital, monitoring, relawan digital, serta rehabilitasi bagi korban.
Keempat, pelaksanaan rehabilitasi dan pemberdayaan masyarakat rentan, dengan penekanan pada literasi keuangan dan kesehatan mental. Kelima, pelarangan produksi dan peredaran pangan tercemar atau berasal dari bahan non-pangan disertai sanksi administratif dan pidana.
Keenam, penguatan peran serta masyarakat secara partisipatif—bukan represif—dalam menjaga ketertiban umum.
“Penataan ketertiban umum merupakan bagian dari upaya mewujudkan kehidupan sosial yang harmonis, aman dan bermartabat,” ucapnya.
Sumardi menambahkan, landasan perubahan ini tetap mereferensi Perda No.1/2019 yang telah diubah dengan Perda No.2/2020, namun kini diperluas agar sejalan dengan dinamika lapangan dan kebutuhan perlindungan warga.
“Perubaan Perda ini berangkat dari kondisi empiris adanya gangguan ketertiban dan ketentraman umum yang bersumber dari perkembangan teknologi digital serta pola konsumsi dan interaksi sosial baru yang belum sepenuhnya terakomodasi dalam regulasi sebelumnya,” tuturnya.
Komisi A berharap rancangan ini segera dibahas dan ditetapkan sesuai mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Melalui perubahan kedua atas perda No. 1/2019 ini, DPRD Provinsi Jawa Timur bersama pemerintah Provinsi Jawa Timur menegaskan komitmen untuk melindungi masyarakat dari ancaman sosial yang berkembang seiring kemajuan teknologi,” pungkas Sumardi. (zen)