JATIMPOS.CO/SURABAYA — Balai Budaya Surabaya menjadi saksi bisu sebuah pertunjukan yang tak hanya memanggungkan seni, tetapi juga merangkai kembali jejak spiritual dan diplomasi Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Pada Jumat (27/6/2025), pentas teater kolaborasi seniman Indonesia dan Uzbekistan menghidupkan kembali momen bersejarah kunjungan Bung Karno ke Uzbekistan tahun 1956 — sebuah perjalanan yang bukan sekadar diplomasi, tetapi juga ziarah ruhani.
Pertunjukan bertajuk “Imam Al-Bukhari dan Soekarno” ini tidak hanya menuturkan langkah politik sang proklamator di tengah ketegangan Perang Dingin. Lebih dari itu, ia mengungkap sisi terdalam seorang Soekarno — seorang pemimpin yang tidak pernah tercerabut dari akar spiritualitasnya, yang menempatkan nilai keimanan sejajar dengan perjuangan bangsa.
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, tak dapat menyembunyikan rasa bangganya. Baginya, pertunjukan ini bukan sekadar suguhan seni, tapi juga napak tilas yang mengingatkan kembali bahwa Surabaya adalah kawah candradimuka bagi lahirnya sosok besar seperti Bung Karno.
“Ketika Uni Soviet mengundang Soekarno, beliau tidak langsung menerima. Bung Karno lebih dulu meminta untuk diantar ke makam Imam Al-Bukhari. Itu bukan sekadar perjalanan fisik, tapi perjalanan batin yang dalam. Inilah cerminan betapa kuatnya nilai spiritual dalam diri Bung Karno,” ujar Wali Kota Eri dengan suara bergetar dalam konferensi pers sebelum pementasan.
Eri menegaskan, Surabaya adalah kota yang menanamkan api perjuangan dan spiritualitas pada diri Soekarno. Sebab di kota inilah, Soekarno muda berguru pada HOS Tjokroaminoto, tokoh besar Sarekat Islam, yang tak hanya mengajarkan politik, tetapi juga nilai-nilai Islam yang mencerahkan.
“Ini yang ingin kita wariskan kepada generasi muda. Api perjuangan Bung Karno harus kita genggam. Bukan abunya, tapi apinya. Semangatnya. Jiwa perjuangannya. Bahwa perjuangan tanpa spiritualitas adalah perjuangan yang kosong,” tegasnya.
Di atas panggung, nuansa sakral berpadu dengan narasi sejarah. Musik klasik Uzbekistan berbaur dengan tembang nasional Indonesia. Lantunan zikir bersahut-sahutan dengan denting piano dan petikan kecapi. Para aktor dengan khidmat menghidupkan kembali percakapan-percakapan yang barangkali dulu hanya disimpan dalam ingatan sejarah — saat Bung Karno berdiri di hadapan makam Imam Al-Bukhari, air matanya jatuh, sembari berbisik bahwa perjuangan harus berpijak pada iman.
Aktor senior yang juga Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno, turut bermain dan berbagi pandangan. Ia meyakini, pencarian Bung Karno atas makam Imam Al-Bukhari bukan hal kebetulan. Ada dorongan spiritual yang begitu kuat, lahir dari perenungan panjang, bahkan sejak Bung Karno menjalani masa pengasingan di Ende.
“Ketika Bung Karno menyusun Pancasila, saya percaya itu bukan hasil pemikiran semata. Ada banyak doa, firasat, zikir, dan perenungan. Karena itu, Pancasila tidak hanya teks, tapi jiwa,” ujar Rano dengan mata berkaca-kaca.
Baginya, pertunjukan ini adalah jembatan yang menghubungkan generasi muda dengan sejarah yang selama ini mungkin hanya mereka kenal sebatas buku pelajaran. “Bung Karno tidak menciptakan Pancasila. Ia menggali dari bumi Indonesia. Ia merangkai nilai-nilai luhur bangsa. Maka, anak-anak muda harus tahu bahwa sejarah itu hidup. Ia bukan benda mati.”
Sementara itu, produser sekaligus pendiri Yayasan Taut Seni, Restu Imansari Kusumaningrum, mengungkapkan bahwa pentas ini adalah hasil riset panjang selama lebih dari empat tahun. Lebih dari sekadar pertunjukan, ia adalah persembahan kepada generasi masa depan.
“Sejarah adalah milik seluruh umat manusia. Ia adalah cermin yang memberi arah, bahwa bangsa tanpa ingatan adalah bangsa yang kehilangan jati dirinya,” ucapnya.
Pentas berdurasi satu jam ini tidak hanya memukau, tapi juga menggugah. Dalam empat sesi adegan, penonton diajak menyelami bagaimana perjalanan seorang presiden bukan hanya demi negara, tetapi juga demi jiwanya sendiri — mencari cahaya, mencari makna, dan meneguhkan bahwa perjuangan sejati tak pernah lepas dari pijar keimanan.
Kisah ini adalah pengingat bahwa hubungan Indonesia dengan Uzbekistan, dua bangsa yang terpisah ribuan kilometer, ternyata disatukan oleh sejarah spiritual yang dalam. Sebuah perjalanan yang kini dihidupkan kembali di Surabaya — kota yang tak pernah lelah menjadi saksi lahirnya para pejuang bangsa. (fred)