JATIMPOS.CO/BONDOWOSO. Masyarakat di Kecamatan Ijen, Kabupaten Bondowoso, merasa kecewa terhadap PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I Regional V yang dinilai telah mengingkari sejumlah kesepakatan hasil mediasi dengan para petani.

Kesepakatan tersebut sebelumnya difasilitasi langsung oleh Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Bondowoso sebagai upaya meredam konflik lahan antara petani dan perusahaan.

Tokoh masyarakat Ijen, H. Kusnadi, mengungkapkan bahwa dugaan pelanggaran kesepakatan terjadi di dua wilayah utama, yakni Zona I dan Zona II. 

Ia menyebut PTPN tidak melaksanakan hasil kesepakatan yang sebelumnya telah disetujui bersama antara kedua belah pihak.

" Petani sangat kecewa karena apa yang dijanjikan tidak sesuai kenyataan. Padahal semua sudah disepakati dalam pertemuan resmi di hadapan Forkopimda," Kata Kusnadi, Rabu (15/10/2025).

Zona II yang terletak di Desa Jampit, Kecamatan Sempol, menjadi titik utama kekecewaan warga. PTPN sebelumnya mengklaim memiliki lahan tanam kopi seluas 68 hektar dan berjanji memberikan lahan pengganti 55 hektar kepada petani. Namun, hasil pengecekan bersama menunjukkan hanya sekitar dua hektar yang dinilai layak digarap.

Petani menilai sebagian besar lahan pengganti memiliki kondisi ekstrem, seperti di kawasan Lengker Patek dan Lingkar Anjing yang rawan longsor.

" Kalau lahan itu rawan longsor, kenapa justru petani yang disuruh menggarap? Kenapa bukan PTPN yang menanami sendiri," Ungkap Kusnadi dengan nada kecewa.

Menurutnya, meski tanaman kopi bisa tumbuh di daerah miring, faktor keselamatan petani tetap menjadi prioritas. Mereka tidak ingin mempertaruhkan nyawa hanya demi mempertahankan lahan yang tidak layak.

Lebih lanjut, hasil pengecekan di lapangan menunjukkan sebagian lahan yang kini diklaim PTPN sebenarnya sudah digarap petani puluhan tahun. Lahan yang dulunya tandus dan berbatu kini justru subur berkat kerja keras warga.

" Dulu tanah itu gersang, tapi petani yang menjadikannya produktif. Sekarang setelah bagus malah diklaim kembali," ucapnya.

Kekecewaan juga muncul di Zona I. Dalam kesepakatan awal, PTPN berjanji memberikan lahan pengganti seluas 14 hektar. Namun, sekitar 10 hektar di antaranya masih berupa hutan lebat yang belum bisa diolah.

Pihak perusahaan disebut sempat berjanji akan menanggung biaya pembersihan hutan sekitar Rp10 juta per hektar agar siap ditanami kopi, namun hingga kini janji tersebut belum terealisasi.

" Petani makin ragu karena lokasi lahan pengganti di kawasan Malabar III itu belum jelas. Di sana masih banyak pohon besar berdiameter tiga meter. Kalau ditebang, risikonya longsor besar," jelasnya.

Dari total 14 hektar lahan di Zona I, warga menilai hanya sekitar empat hektar yang layak ditanami. Sementara di Zona II, masih terdapat kekurangan sekitar 13 hektar dari total lahan yang dijanjikan.

Sejumlah titik bahkan diketahui tidak pernah digunakan untuk pertanian, hanya area penggembalaan sejak zaman Belanda. Kondisinya berbatu dan tidak bisa ditanami kopi.

" Petani kecewa karena merasa diperlakukan tidak adil. Kesepakatan sudah jelas, tapi pelaksanaannya jauh dari harapan," pungkasnya. (Eko)