JATIMPOS.CO/SURABAYA — Komisi E DPRD Jawa Timur menegaskan pentingnya percepatan pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Pelindungan Perempuan dan Anak. Raperda ini dipandang krusial untuk menjawab tantangan kekerasan yang masih kerap menimpa kelompok rentan, khususnya di tengah dinamika sosial dan perkembangan teknologi digital.
Anggota Komisi E, Puguh Wiji Pamungkas, selaku juru bicara dalam Nota Penjelasan Komisi E, menyampaikan bahwa tren kekerasan terhadap perempuan dan anak masih tinggi di Jawa Timur, meskipun terdapat sedikit penurunan angka dalam dua tahun terakhir.
“Tahun 2023 terdapat 972 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 1.531 kasus kekerasan terhadap anak. Meski di tahun 2024 angkanya menurun menjadi 771 dan 1.103 kasus, bentuk kekerasan seksual masih menjadi yang paling dominan,” ujarnya dalam Rapat Paripurna DPRD Jatim.
Puguh juga menyoroti persoalan perkawinan anak yang masih tinggi. Meskipun jumlah permohonan dispensasi kawin menurun dari puncaknya di tahun 2020 sebanyak 17.214 kasus menjadi 8.753 kasus pada 2024, angka tersebut tetap menunjukkan perlunya perhatian serius dari pemerintah daerah.
Selain itu, penggunaan teknologi oleh anak-anak turut memunculkan ancaman baru. Berdasarkan studi Disrupting Harm tahun 2022, sebanyak 41% anak dan remaja di Indonesia menyembunyikan usia mereka saat online, membuat mereka lebih rentan terhadap predator digital dan kekerasan seksual daring. Survei U-Report pada 2019 juga mencatat bahwa 45% responden anak muda usia 14–24 tahun pernah mengalami cyberbullying.
“Anak-anak dan remaja kita adalah pengguna aktif media digital. Ini membuka peluang besar, tapi juga risiko yang tidak kalah besar. Raperda ini perlu mengatur perlindungan yang mencakup ruang digital,” jelas Puguh.
Raperda ini disusun untuk menggantikan dua regulasi lama, yakni Perda Nomor 16 Tahun 2012 dan Perda Nomor 2 Tahun 2014, yang dinilai sudah tidak lagi relevan. Penggabungan kedua perda menjadi satu regulasi baru diharapkan akan menciptakan sistem perlindungan yang lebih terintegrasi, efisien, dan adaptif.
“Perlindungan terhadap perempuan dan anak tidak cukup hanya saat terjadi kekerasan, tetapi juga harus meliputi pencegahan dan pemulihan. Korban butuh layanan yang terintegrasi secara fisik, psikologis, dan sosial,” tegasnya.
Raperda ini juga dirancang selaras dengan peraturan nasional terbaru, seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, PP Perlindungan Khusus Anak, hingga Perpres tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak.
Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Blegur Prijanggono, menyampaikan bahwa pandangan dan usulan dari Komisi E terhadap raperda ini merupakan bentuk komitmen legislatif dalam menjawab kebutuhan riil masyarakat di tingkat akar rumput.
“Pandangan Komisi E DPRD Jatim ini akan menjadi masukan yang konstruktif untuk menjadi bahan penyusun peraturan dan membangun Jawa Timur yang inklusif,” ungkap Blegur dalam Rapat Paripurna DPRD Jatim. (zen)